Skip to content

Wakaf Al-Qur’an untuk Santri di Lereng Tengger

Rumah sederhana ini berada di dataran tinggi, dijadikan kelas mengaji. Meski kurang fasilitas, tapi puluhan santrinya semangat belajar agama.

Di ujung rute lereng terjal Desa Sapih, Kecamatan Lumbang, Probolinggo, Jawa Timur, berdiri sebuah rumah yang sekaligus dijadikan kelas Madrasah Diniyah Sunniyah Salafiyah.

Untuk menuju desa tertinggi di lereng Gunung Bromo ini cukup menantang. Jalan menanjak, memutar dan merayap mengikuti lekuk lereng Tengger Bromo.

Siang itu, akhir bulan Juli, halaman sempit madrasah itu riuh. Sebanyak 63 anak duduk berbaris. Wajahnya ceria. Mereka menerima al-Qur’an baru dari Yayasan Wakaf Al-Qur’an Suara Hidayatullah (YAWASH). Selain al-Qur’an, juga diserahkan 20 buku Iqro’.

Sambutan anak-anak begitu antusias. “Terima kasih al-Qur’an dan buku iqro’nya,” ujar puluhan santri berbarengan.

Pendiri dan juga Kepala Sekolah Madrasah Diniyah Sunniyah Salafiyah, Ustadz Bahroni menyampaikan ungkapan terima kasih. “Insya Allah, ini akan bermanfaat untuk puluhan santri yang semangat mengaji. Terima kasih atas wakaf qur’an dan buku Iqro’nya,” ujar lulusan Pesantren Sunniyah Salafiyah Pasuruan itu.

Pria berusia 45 tahun ini sudah dua dekade mengabdi di lereng Tengger ini. Menurutnya, ia datang ke Desa Sapih bersama dua kawannya. Waktu itu anak-anak ngaji masih di masjid. Tahun pertama berpindah-pindah ruang. Setelah menikah, ia menempati rumah yang kini sekaligus menjadi kelas tetap santri.

“Sudah lebih sepuluh tahun di titik ini. Anak yang dulu saya ajari, sekarang gantian anaknya yang ngaji. Dua generasi,” ujarnya.

Di sini belajar tersusun sepanjang hari. Usai Zuhur, anak-anak shalat lalu mengaji hingga pukul 13.30. Setelah itu, belajar fikih, tajwid, tauhid, akhlak, hingga nahwu memakai kitab Jurumiyah.

Santri SMP masuk setelah Asar. Menjelang Magrib giliran anak kecil kembali. Malam diisi tilawah dari Maghrib sampai Isya’. Mereka diajar oleh Bahroni, istrinya, dan dua santri senior yang ikut membantu.

Fasilitas di sini serba sederhana. Rak al-Qur’an menempel di dinding papan. Lantai sebagian diplester, sebagian masih semen kasar. Tidak ada spanduk besar, hanya papan nama dan yel-yel santri: “Al-Qur’an idolaku.”

Cita-cita Bahroni sederhana; semua santri mampu membaca al-Qur’an dengan baik, lalu membawa pulang kebiasaan disiplin.*Rofi Munawwar/sejutaquran.org